Umar bin Abdul Aziz



Umar bin Abdul Aziz
Tak Ada Rakyatnya yang Menerima Zakat


Malam masih pekat. Udara dinginnya menulang menembus kulit. Di langit setitik cahaya rembulan menyinari Madinah yang sunyi. Orang-orang lebih memilih untuk berlindung di balik selimut. Namun, di antara senyapnya Kota Madinah, ada seorang lelaki tegap yang terus berjalan menyusuri lorong-lorong kota.
Lelaki itu bernama Umar bin Khattab, seorang Khalifah yang sedang melakukan patroli. Kebiasaan yang sudah dilakukannya sejak dulu untuk mengetahui kondisi rakyatnya. Puluhan jalan, gang, dan rumah telah ia lewati. Hingga pada akhirnya Umar merasa lelah. Ia memutuskan untuk beristirahat sesaat, bersandar pada dinding tanah liat sebuah rumah. Sambil mengatur nafas, ia duduk sejenak merenung dalam kegelapan. Tiba-tiba terdengar sebuah dialog dari balik tembok tebal di mana Umar tengah bersandar. Umar mendengarkan percakapan itu dengan seksama.
Terdengar suara wanita yang memerintahkan putrinya mencampurkan susu dengan air, agar semakin terlihat banyak.
“Bagaimana aku hendak mencampurnya, sedangkan Khalifah Umar melarangnya,” terdengar suara wanita muda dengan sigap.
Umar tersenyum, memang ia membuat aturan larangan mencampur susu murni dengan air, dengan maksud menghindarkan dari penipuan.
“Umar tidak akan mengetahui,” kata sang Ibu.
Anaknya menjawab, “Kalaupun Umar tidak mengetahui, tetapi Rabb-nya Umar pasti mengetahui. Aku tidak akan pernah mau melakukannya. Dia telah melarangnya.”
Mendengar ucapan anak itu, Umar terhenyak. Kaget. Kata-katanya menghujam ke relung hati Umar. Seorang anak yang jujur meyakini pengawasan Allah. Kemudian Umar berdiri, memutuskan untuk pulang ke rumahnya dengan segera untuk menemui anaknya. Umar berpesan kepada anaknya, Ashim, agar menikahi seorang gadis yang tadi malam membuat hatinya terenyuh.
“Pergilah, wahai anakku dan nikahilah anak tersebut,” pesan Umar. “Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin islam yang hebat kelak yang akan memimnpin orang-orang Arab dan Ajam” tambahnya.
Walhasil, menikahlah Ashim dengan gadis itu. Dari pernikahannya, mereka memiliki putri bernama Laila, yang dikenal sebagai Ummu Ashim. Dewasa kelak, Ummu Ashim menikah dengan Abdul Aziz bin Marwan, seorang Gubenur Mesir, adik dari Khalifah Islam Umayyah saat itu, Abdul Malik bin Marwan. Waktu berlalu, Ummu Ashim dan Abdul Aziz dikarunia seorang anak yang menjadi pesan dikabulkannya doa Ummar bin Khattab agar lahir pemimpin yang adil. Anak itu bernama Umar. Umar bin Abdul Aziz.

 
***
Kantung matanya semakin tebal menghitam. Telah lama ia tak bisa tidur nyenyak. Pikirannya dipenuhi kegelisahan soal kondisi rakyatnya di luar sana. Matanya menyipit, bulir-bulir bening berkumpul di sudut-sudut matanya. Tumpah, menetes membasahi janggutnya, dan jatuh ke bumi. Tangisnya menyeruak, bersahutan. Sang Khalifah, Umar bin Abdul Aziz lagi-lagi menangis sejadinya.
Para tabi’in menyebutkan,jika mereka melihat Umar bin Abdul Aziz, terlihat jelas, tanda bekas tangisan di wajahnya. Semakin malam, tangisnya tak berhenti. Istrinya, Fatimah, semakin khawatir.
Dulu, suaminya begitu hidup senang dan berkecukupan. Namun, setelah diangkat menjadi khalifah, raut mukanya seketika berubah. Fatimah memberanikan diri bertanya kepada suaminya, mengapa ia selalu menangis di malam hari.
Celakalah engkau wahai Fatimah, sesungguhnya aku telah dijadikan pemimpin bagi urusan umat ini. Aku berpikir tentang orang fakir yang lapar, orang sakit yang terlantar, orang yang tak memiliki pakaian, orang yang kesulitan, anak yatim yang tidak terpelihara, dan rakyat yang terzalimi. Aku tahu mereka semua ini akan mendakwaku di akhirat kelak dan aku bimbang tidak dapat mendapat hujjah-hujjah mereka sebagai khalifah karena aku tahu, yang menjadi pembela di pihak mereka adalah Rasulullah SAW ,” ujar Umar bin Abdul Aziz. Sambil menyeka air matanya, ia membaca firman Allah. “Aku benar-benar takut kepada siksa hari yang besar (kiamat) jika mendurhakai Tuhanku,” (QS: Yunus:15). Kemudian suami istri tersebut menangis semalaman.
        Sejak hari pertama ia didaulat menjadi khalifah, tak pernah ia tidur pulas seperti kebanyakan orang. Umar bin Abdul Aziz disibukkan oleh urusan umat. Pernah suatu hari, Umar mengalami keletihan luar biasa. Seharian ia tak tidur. Ia berpesan kepada anaknya, Abdul Malik, agar menjelang zuhur membangunkan dirinya. Tiba-tiba anaknya berkata,
        “Ayah, siapa pula yang menjamin ayah masih hidup sehingga waktu zuhur nanti sedangkan sekarang adalah tanggung jawab Amirul Mu’minin mengembalikan hak-hak orang yang dizalimi”.
        Mendengar hal tersebut Umar bin Abdul Aziz membatalkan niat untuk tidur, beliau memanggil anaknya mengecup kedua belah mata anaknya sambil berkata:
        “Segala puji bagi Allah yang mengeluarkan dari keturunanku, orang yang menolong aku di atas agamaku”
        Sejak itulah ia terus menerus memikirkan rakyat. Tak ada kata untuk menumpuk harta atau secuil pun menggunakan harta negara. Setiap hari ia selalu bertanya, “Masih adakah orang yang kelaparan? Masih adakah fakir miskin?”
        Kepemimpinan, baginya adalah amanah dari Allah dan harus diperanggungjawabkan. Kesibukan Umar bin Abdul Aziz tak lantas membuatnya lupa akan urusan keilmuannya. Ia tetap menuntut ilmu dari para ulama. Sejak kecil, Umar bin Abdul Aziz sudah dididik oleh sahabat besar Ibnu Umar dan menguasai bidang fikih, hadits, akidah, dan juga telah hafal Al-Qur’an. Ilmunya yang benar, membimbingnya menjadi seorang pemimpin besar.
        Ilmunya membimbing menuju pemimpin yang adil. Hari ini, hari pertama ia menjabat sebagai khalifah. Hari ini pula, Umar mengencangkan ikat pinggang. Saat gubenur-gubenur  dan khalifah sebelumnya mendapatkan fasilitas negara, Umar bin Abdul Aziz yang pertama kali menentangnya.
        Ia menolak tinggal di rumah dinas, dan memilih tinggal di rumahnya bersama istrinya. Saat itu juga, seluruh hartanya disumbangkan kepada negara. Meminta sang istri tercinta, Fatimah, menyerahkan perhiasannya pada Baitul Mal dan bersedia hidup miskin. Umar bin Abdul Aziz, kini berbalut kesederhanaan. Kebijakan-kebijakan ekonomi dicontohkan mulai dari dirinya sendiri. Ia mencontohkan hidup sederhana.
        Pernah suatu hari, datanglah seorang utusan dari salah satu daerah kepada beliau. Utusan itu sampai di depan pintu Umar bin Abdul Aziz dalam keadaan menjelang malam. Setelah mengetuk pintu seorang penjaga menyambutnya. Utusan itu pun mengatakan, “Beritahu Amirul Mukminin bahwa yang datang adalah utusan gubenurnya”. Penjaga itu masuk untuk memberitahu Umar yang hampir saja berangkat tidur. Umar pun duduk dan berkata, “izinkan dia masuk”.
        Utusan itu masuk, dan Umar memerintahkan untuk menyalakan lilin yang besar. Umar bertanya kepada utusan tersebut tentang keadaan penduduk kota, dan kaum muslimin disana, bagaimana perilaku gubenur, bagaimana harga-harga, bagaimana dengan anak-anak, orang-orang muhajirin dan anshar, para ibnu sabil, orang-orang miskin. Apakah hak mereka sudah ditunaikan? Apakah ada yang mengadukan?
        Utusan itu pun menyampaikan segala yang diketahuinya tentang kota kepada Umar bin Abdul Aziz. Tak ada sesuatu pun yang disembunyikan.
         Semua pertanyaan Umar dijawab lengkap oleh utusan itu. Ketika semua pertanyaan Umar telah dijawab semua, utusan itu balik bertanya kepada Umar.
        “Ya Amirul Mukminin, bagaimana keadaanmu, dirimu, dan badanmu? Bagaimana keluargamu, seluruh pegawai dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabmu?, Umar pun kemudian dengan serta merta meniup lilin tersebut dan berkata, “Wahai pelayan, nyalakan lampunya!” lalu dinyalakanlah sebuah lampu kecil yang hampir-hampir tidak bisa menerangi ruangan karena cahayanya yang teramat kecil.
        Umar melanjutkan perkataannya, “sekarang bertanyalah apa yang kamu inginkan.” Utusan itu bertanya tentang keadaannya. Umar memberitahukan tentang keadaan dirinya, anak-anaknya, istri, dan keluarganya.
        Rupanya utusan itu sangat tertarik dengan perbuatan yang telah dilakukan Umar, mematikan lilin. Dia bertanya, “Ya Amirul Mukminin, aku melihatmu melakukan sesuatu yang belum pernah Anda lakukan.” Umar menimpali, “Apa itu?”
        “Engkau mematikan lilin ketika aku menanyakan tentang keadaanmu dan keluargamu.”
        Umar berkata, “Wahai hamba Allah, lilin yang ku matikan itu adalah harta Allah, harta kaum muslimin. Ketika aku bertanya kepadamu tentang urusan mereka maka lilin itu dinyalakan demi kemashalahatan meraka. Begitu kamu membelokkan pembicaraan tentang keluarga dan keadaanku, maka aku pun mematikan lilin milik kaum Muslimin.”
        ***
        Dengan keadilanya, Umar bin Abdul Aziz, dapat membangun sebuah negara dengan kondisi ekonomi yang sangat baik. Ia mendidik warganya agar mandiri dan bekerja keras. Dalam 2 tahun 5 bulan kepemimpinannya, ia dapat menekan angka kemiskinan. Membuat rakyatnya hidup sejahtera. Baitul Mal (kas negara) saat itu penuh. Hingga para amil diminta untuk mendata siapa saja yang seharusnya mendapatkan zakat.
        Para amil terus mencari rakyat yang tengah mengalami kesusahan, menjelajah seluruh negeri, mulai dari Irak sampai Afrika. Namun tak ada yang menerima zakat. Baitul Mal semakin penuh. Hingga kaum Nasrani dan Yahudi, dikisahkan tidak membayar jizyah, dan sebagian hasil infak kaum muslimin diberikan kepada para non-muslim. Karenanya juga, berbondong-bondong mereka memeluk islam. Tak hanya itu saja, keberkahan kian terasa diseluruh penjuru negeri.
        Itulah seorang pemimpin yang menyejahterakan rakyat, tapi tetap hidup bersahaja dan sederhana. Yang sebelum wafat mewasiatkan sesuatu kepada anaknya, “Wahai anak-anakku, sesungguhnya ayahmu telah diberi dua pilihan, pertama: menjadikan kamu semua kaya dan ayah masuk ke dalam neraka, kedua: kamu miskin seperti sekarang dan ayah masuk ke dalam surga (karena tidak menggunakan uang rakyat). Sesungguhnya wahai anak-anakku, aku telah memilih surga.”
        Tercatat kekayaan pribadinya sebelum menjadi khalifah sebanyak 40.000 dinar. Namun, setelah menjabat, kekayaannya habis. Tak ada yang ia tinggalkan untuk anaknya. Hingga sang ajudan, menjelang akhir kepemimpinannya berkata heran, “Maaf Amirul Mukminin, saat ini seluruh rakyat sudah sejahtera. Hanya tinggal kita saja yang miskin.” Lalu mereka berdua menangis tersedu-sedu. Wallahu a’lam. Subhanallah.

Sumber: Tabloid Alhikmah Edisi 79 Februari 2013

Komentar